Terjemahan

Senin, 25 Februari 2013

ANTARA PROFESI DAN RESIKO WARTAWAN



 Pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun; 
 
Itulah salah satu butir yang terdapat pada UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999
TENTANG PERS. Selain undang-undang tersebut ada Kode Etik Jurnalistik yang merupakan himpunan etika profesi kewartawanan.
Melakukan peliputan pada Pemilu 2004, khususnya pada masa kampanye bukan tanpa resiko. Kekerasan bisa saja menimpa wartawan baik yang dilakukan oleh Satgas Partai Politik maupun yang dilakukan oleh petugas keamanan. Tahapan pemilu ini merupakan tahapan yang paling rawan dari keseluruhan proses pemilu.
Tingginya resiko yang dihadapi wartawan yang meliput pemilu memang merupakan suatu resiko profesi, toh setiap pekerjaan pasti memiliki resiko apapun bentuknya. Namun resiko yang dihadapi oleh wartawan dilapangan sebaiknya juga menjadi perhatian dari penyelenggara media dengan memberikan jaminan, seperti ansuransi jiwa misalnya. Ini diperlukan jika sewaktu-waktu wartawan atau reporter yang bertugas mendapat musibah selama peliputan.
Dalam suatu pembicaraan dengan beberapa wartawan yang bertugas di Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang terletak di Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, diungkapkan bahwa masih ada perusahaan penyelenggara media massa tidak mengansurasikan wartawan atau reporternya. Bahkan tidak sedikit, yang masih memberikan upah di bawah standar yang ditetapkan pemerintah (UMP).
Sangat tidak sebanding dengan resiko yang mereka hadapi selama melakukan peliputan. Bahkan muncul berbagai kekhawatiran yang selalu mendera wartawan, jangan-jangan akan berurusan dengan penegak hukum, menyangkut berita yang dibuatnya.
Walaupun harus mendapatkan berita yang diinginkan, namun setiap wartwan harus memegang prinsip bahwa suatu berita tidak pernah sebanding dengan nilai nyawa. Karena itu perlu dihindari resiko yang mencederai seperti pemukulan, pengusiran atau bahkan resiko penjara.
Kekerasan terhadap wartawan tidak akan terjadi, jika masyarakat Indonesia memiliki budaya menghargai tugas jurnalistik. Budaya yang tidak menghargai tugas jurnalis merupakan ancaman terhadap jurnalis yang meliput kampanye pemilu. Karena, bisa saja wartawan menjadi sasaran amarah oleh kelompok tertentu, jika terjadi bentrokan antara parpol.
Masyarakat sebaiknya menempatkan pers sebagai lembaga informasi dan kontrol, sehingga tidak perlu melakukan teror terhadap pers. Lewat media massa, segala program partai politik diantaranya sosialisasi calon legislatif, presiden maupun wakil presiden dapat dituangkan. Selain itu, masyarakat juga harus mengakui bahwa tugas jurnalis pada Pemilu 2004 menjadi sangat penting, karena Pemilu 2004 merupakan tongak sejarah baru bagi terbukanya demokrasi di Indonesia.
Selain adanya jaminan dari masyarakat dan partai politik, petugas kepolisian juga harus menjamin keselamatan wartawan selama melakukan peliputan. Jaminan ini sangat dibutuhkan, karena tidak jarang ancaman bagi wartawan justru datang dai petugas kemamanan sendiri.(Albertus Bembot/Idh)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar